"Tak guna antrian panjang
Apalagi hanya popcorn yang mahal
Karena kita gembira
Bermodal awal lima ribuan
Kan ku ajak kau dara
Menyaksikan tutur gambar di rumah
Bertumpuk keping bajakan
Masih sempatnya kita berwacana
Menggila..!!
Digital Video Festival"
Lirik yang sangat menginspirasi bukan..? Ya setidaknya itulah yang dikatakan oleh Jimi Multhazam dari theUpstairs saat dia menyanyikan lagu berjudul digital video festival tsb. Respon terhadap menggilanya bisnis dlm bentuk dvd / vcd bajakan. Sungguh fenomenal..!!, saya pribadi tak mampu berpendapat ketika seorang teman lama menanyakan "Menurutmu pembajakan itu salah atau tidak..?".
Ketika pertanyaan itu terlontar dari mulutnya, saya hanya dapat diam dan mungkin sedikit belaga mikir ( mmmm biar gk keliatan bego2 amat kali ya hehe.. ). Kemudian saya mencoba mencari jawaban2 dari berbagai sumber, baik teori, sosial maupun bisnis. Banyak hasil mengacu pada hak kepemilikan HAKI atau Hak Atas Kekayaan Intelektual.
Sejauh yang saya tau, terdapat tiga jenis hak kepemilikan yaitu Benda bergerak, seperti emas, perak, kopi, teh, alat-alat elektronik, peralatan telekominukasi dan informasi, dan sebagainya; Benda tidak bergerak, seperti tanah, rumah, toko, dan pabrik; dan yang terakhir adalah Benda tidak berwujud, seperti paten, merek, dan hak cipta (haha itu juga baru baca gw).
Berbeda dengan dua hal yg pertama HAKI termasuk dalam kategori ‘benda tidak berwujud’. Wujudnya berupa informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, keterampilan dan sebaginya yang tidak mempunyai bentuk tertentu. Karena sudah diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) UU, Undang-Undang Paten (UUP) dan Undang-Undang Merek (UUM) maka lebih baik saya gak usah membahas tentang apa2 saja yang termasuk didalamnya, karena hal tersebut juga membosankan bagi saya (bagi saya loh).
Terlepas dari sistem perundang-undangan tersebut, sebenarnya kekayaan intelektual bertujuan untuk apa sih..? Bukankah seharusnya meningkatkan kualitas hidup manusia dari aspek pengetahuan dan moral..?
Benarkan saya jika salah ya kawan, hanya saja dimana moral ketika seorang penjual dvd di pinggir jalan berdebu dan panas yang sedang mencari nafkah untuk istri dan 3 orang anaknya digerebek satpol pp / polisi karena ia menjual dvd dan vcd bajakan yang didapatnya secara halal. Ditambah dengan penyitaan seluruh aset miliknya yg kemudian dapat diambil kembali esok hari di kantor polisi / pol pp dengan sejumlah nominal uang sogokan. Mungkin moral itu ada di dalam kantong aparat kali ya, besok coba saya cari haha..!!
Dalam hal Pengetahuan, dvd dan vcd bajakan adalah gudang dari pengetahuan dan wacana yang murah dan mudah terjangkau rakyat. Bayangkan saja bila tak ada bajakan, bagaimana anda mengoperasikan windows anda?, mungkin sampai saat ini saya pribadi tidak dapat menguasai software photosop, dan saya rasa demikian juga dengan film.
Film adalah suatu karya seni yg paling mutakhir. Kandungan didalamnya berisi segala macam, cabang kesenian lainnya. Lahir sejak munculnya pertanyaan “Apakah keempat kaki kuda berada pada posisi melayang pada saat bersamaan ketika kuda berlari..?”. Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh Eadweard Muybridge dari Stanford University dengan membuat 16 gambar atau frame kuda yang sedang berlari. Kejadian ini terjadi pada tahun 1878. Dari ke-16 gambar kuda yang sedang berlari ini dirangkai dan digerakkan secara berurutan menghasilkan gambar bergerak pertama yang berhasil dibuat di dunia. Dari sinilah ide membuat sebuah film muncul. Karena pada saat itu teknologi kamera perekam belum ada, Muybridge menggunakan kamera foto biasa untuk menghasilkan gerakan lari kuda. Dengan kata lain, diperlukan pengambilan gambar beberapa kali agar memperoleh gerakan lari kuda yang sempurna saat difilmkan. Dan demikian seterusnya hingga perkembangannya saat ini (nanti kl gw terusin jadi kayak pelajaran sejarah film lg). Benar2 Ajaib..!!
Dalam sebuah film orang dapat melihat, mendengar dan merasakan suatu keadaan / peristiwa yang tersaji di dalamnya. Tanda-tanda yg dikandungnya menakjubkan dan hampir membawa semua orang yg melihat terbawa kedalamnya (apalagi kalau film itu bagus). Nilai pengetahuan di dalam film pun sangat banyak, dengan adanya teknologi ini kita dapat mengerti atau setidaknya tau tentang keadaan dan situasi di tempat dan waktu dimana kejadian film tersebut berlangsung. Belum lagi kandungan isi cerita dan pelajaran2 hidup yg disajikannya, mungkin mampu merubah pandangan hidup seseorang tentang hal yang baik dan benar. Huhu sangat padat dan bermanfaat fungsinya yah..
Biaya penciptaan sebuah film besar / box office tidaklah murah. Karena dari sebuah film terdapat tim kerja yg besar mulai dr penulis skenario, aktor hingga sutradara. Pemikiran2 dan proses pembuatannya adalah rumit dan dibutuhkan pemikiran yang baik serta wawasan yang cukup prihal film yang akan dibuatnya. Mmmm, saya pikir hal tersebut sangat sulit jika dilakukan oleh sembarang orang. Dengan tingkat kesulitan2nya tersebut maka sangat wajar bila para pembuat film garang, marah besar dan menyatakan perang terhadap pembajakan. Belum lagi jika melihat sisi sang bandar pembajak tersebut dengan gampangnya memperbanyak kepingan film dan menjualnya kembali, semakin hari semakin kaya raya dia, uuugghhh dasar maling..!!
Sebuah dilema besar untuk saya... Karena pada satu sisi pembajakan sangat dibutuhkan masyarakat dan saya pribadi, jujur saja ‘SANGAT BUTUH’. Wacana yg luas telah saya terima dari hasil2 bajakan ini. Bahkan membajak telah menjadi keseharian saya, dan telah menjadi budaya negara Indonesia yg katanya berisi org2 jujur. Namun rasa bersalah kerap terjadi dan melintas saat saya sedang melihat dvd bajakan dirumah atau dimana saja. Pencipta yang telah bersusah payah berkarya, dengan tanpa hormat telah saya curi dan nikmati demi keuntungan saya mendapatkan wacana tersebut. Sungguh suatu hal yang sulit..!!
Dampak positif dan negatif pun saling bertabrakan dan menciptakan uap asap yang baru disini. Harapan saya uap yg baru ini dapat menjadi sebuah solusi. Solusi yang mampu menurunkan harga2 dvd / vcd yang sangat bermanfaat ini sehingga harganyapun mampu bersaing dengan yang bajakan.. Aduuuh “Bersaing dengan Bajakan..???”
Menggila..!! Digital Video Festival
Saturday, November 14, 2009
Saturday, November 07, 2009
Jogja dan Saya
Perjalanan saya dan istri tercinta ke jogja kali ini sangat aneh dan tidak biasa. Gw seperti mau jalan menuju cinta lama yang tak terlupakan.. Ciee elaah apaan sih? Tp memang jogja adalah kota yang menyelamatkan saya dari puing2 asam kimia masa remaja. Dengan anggunnya ia membangunkan dan menginjak2 gw untu melawan dan terus bertarung.
Wajahnya mungkn berubah, tp hatinya tetap sama. Sambutan picik nan hangat para tukang becak, suara gemuruh pengamen amburadul yg mengklaim musik mereka sebagai musik kontemporer, grafiti dan mural2 bawah jembatan yg warna catnya mulai memudar, dan tentunya para abdi dalem nan sakti yang bila berkendara motor d jalan selalu membawa kris dan gak pernh memakai helm karena blangkon khas selalu menutupi kepalanya, namun tak akan berani polisi2 coklat itu menangkapnya. Huuu, gw jd terinspirasi buat nyari kostum mereka lalu memakainya di jalanan jakarta, ditangkep gak ya?
Saat menulis ini gw masih di kreta, yah karena keadaan darurat jd hrs pulang hari ini juga. Kelas bisnis pula. Biasanya sih gw lebih seneng naek ekonomi, cm karena beberapa hal dgn trpaksa saya membeli tiket 110rb ini, mgkin gw ceritain nanti deh. Seru jg soalnya, ft2nya jg banyak..
Kembali mengenang jogja, ya jogja adalah pencipta karakter diri gw sekarang ini. Provokasi2 yang dihujatkannya kepada saya membawa saya jauh dr diri saya sbelumnya. Teman2 yang datang dan pergi, cerita cinta jalanan yang telah membuahkan bibit dewa dan matahari,seniman dan kostum2 karyanya, rambut gimbal sasakan, tato, pornografi yang menjadi sebuah karya seni murni nan agung, musik brantakan, gaya hidup kontemporer dan absurd (seringkali gw lupa hari y dulu..? mmmm..), gembel, kuli, gak punya tempat tinggal, hotel bintang 5, desa, gunung, bencana, pasar kembang, lapen, ao, disko, minuman import, nietsche, marxis, budha, china, gamelan, wayang, vespa dsb dsb yg tak akan habis kalo gw bahas semua..
Yaah berhubung jakarta udah ngiket mati gw lg buat mengabdi padanya, dengan berat saya harus pergi lagi dr cinta lamaku.. Bagaimanapun jg hari tua ku, ingin kuhabisan d jogja. Karena gw ini lahir dr rahimnya untuk kedua kali dan kesempatan ke dua dalam hidup.
Demi Jogja
Kota Penyelamat
Wajahnya mungkn berubah, tp hatinya tetap sama. Sambutan picik nan hangat para tukang becak, suara gemuruh pengamen amburadul yg mengklaim musik mereka sebagai musik kontemporer, grafiti dan mural2 bawah jembatan yg warna catnya mulai memudar, dan tentunya para abdi dalem nan sakti yang bila berkendara motor d jalan selalu membawa kris dan gak pernh memakai helm karena blangkon khas selalu menutupi kepalanya, namun tak akan berani polisi2 coklat itu menangkapnya. Huuu, gw jd terinspirasi buat nyari kostum mereka lalu memakainya di jalanan jakarta, ditangkep gak ya?
Saat menulis ini gw masih di kreta, yah karena keadaan darurat jd hrs pulang hari ini juga. Kelas bisnis pula. Biasanya sih gw lebih seneng naek ekonomi, cm karena beberapa hal dgn trpaksa saya membeli tiket 110rb ini, mgkin gw ceritain nanti deh. Seru jg soalnya, ft2nya jg banyak..
Kembali mengenang jogja, ya jogja adalah pencipta karakter diri gw sekarang ini. Provokasi2 yang dihujatkannya kepada saya membawa saya jauh dr diri saya sbelumnya. Teman2 yang datang dan pergi, cerita cinta jalanan yang telah membuahkan bibit dewa dan matahari,seniman dan kostum2 karyanya, rambut gimbal sasakan, tato, pornografi yang menjadi sebuah karya seni murni nan agung, musik brantakan, gaya hidup kontemporer dan absurd (seringkali gw lupa hari y dulu..? mmmm..), gembel, kuli, gak punya tempat tinggal, hotel bintang 5, desa, gunung, bencana, pasar kembang, lapen, ao, disko, minuman import, nietsche, marxis, budha, china, gamelan, wayang, vespa dsb dsb yg tak akan habis kalo gw bahas semua..
Yaah berhubung jakarta udah ngiket mati gw lg buat mengabdi padanya, dengan berat saya harus pergi lagi dr cinta lamaku.. Bagaimanapun jg hari tua ku, ingin kuhabisan d jogja. Karena gw ini lahir dr rahimnya untuk kedua kali dan kesempatan ke dua dalam hidup.
Demi Jogja
Kota Penyelamat
Thursday, October 15, 2009
Dalam 15 menit semua orang dapat menjadi Fotografer..
Judul yang saya angkat disini mungkin tidak asing lagi ya, terutama untuk para penggemar seni pop. Memang benar Andy Warhol pernah mengutip kata-kata yang mirip dengan judul tersebut tepatnya dimasa depan semua orang akan terkenal selama 15 menit, namun ketika tahun 60-an berakhir beliau merubah kutipannya menjadi "dalam 15 menit setiap orang akan menjadi terkenal..". Keterkenalan seseorang disini adalah suatu penggambaran pada perkembangan arus dan kemajuan budaya di Amerika saat itu. Lalu bagaimana dengan sekarang?, sudah hampir setengah abad ketika kutipan itu terucap oleh mulut seorang Warhol. Ya, setengah abad.. Dan bisa kita bayangkan perubahan yang terjadi pada jaman dan manusia selama itu.
Jaman digital, inilah yang terjadi saat ini bukan?. Segala sesuatunya berbasis pada data-data digital, mulai dari kalkulator, jam tangan, mesin kasir yang sudah tidak berisik lagi, speedometer kendaraan bermotor, alat pengukur angin, timbangan, telefon, tv, musik, video, peta dan navigasi, hingga kepada dat pemerintahan yang menyangkut kepentingan sebuah negara. Tentu hal tersebut tidak buruk, kemudahan-kemudahan memungkinkan setiap individu untuk mengeklporasi dunia lebih dalam lagi. Namun hal ini banyak sekali mempengaruhi nilai estetika didalamnya.
Dunia fotografi juga banyak mengalami perubahan signifikan. Bukan hanya pada alat, namun pada mental pelaku foto atau fotografernya. Bayangkan saja apabila dahulu ketika saya belajar foto segalanya harus saya perhitungkan dengan akurat, baik pencahayaan, komposisi, warna hingga cetak. Jadi ketika saya berkarya melalui media fotografi tersebut saya pun dapat merasakan kesulitannya, sehingga hasil yang didapat merupakan hasil dari penciptaan yang dipikirkan dengan matang. Namun perbincangan kali ini bukan mengenai itu yah? (hehehe sorry kalo ngelantur), perbincangan ini adalah masa kini, sekarang dan masa depan.
Seperti yang kalian, saya, kamu sudah tahu fotografi sekarang bisa diakses dengan sangat mudah. Media nya pun beraneka ragam dari telfon seluler yang kecil hingga kamera berformat medium yang besar. Fitur-fitur kemudahannya pun sangat fleksibel, pengaturan automatisnya juga sangat akurat untuk menerima gambar secara normal menjadikan sang pemakai tidak banyak berpikir dalam eksekusi pemotretan, benarkah begitu..? Benar atau tidaknya memang tidak ada yang salah ataupun benar dalam hal ini..
Saya pernah memaparkan pemikiran saya ini pada status facebook saya akhir bulan lalu, "Jaman digital, semua orang dapat menjadi fotografer", alhasil antara setuju dan tidak setuju ternyata sama. Seseorang teman saya merupakan fotografer profesional yang telah lama menggeluti bidang fotografi komersial (mungkin tak perlu saya sebutkan namanya kali ya, gak enak) sangat amat tidak setuju. Dia berbicara masalah teknis, alat, kemampuan dan pengalaman seseorang dalam memotret. Katanya kurang lebih, "kalau begitu untuk apa kita belajar dan bekerja bertahun-tahun, kalo dengan sekejap semua orang bisa menjelma jadi fotografer. Coba aja suruh orang yang gak pernah motret, motret di studio, ya pasti gak bisa.." Dengan keadaan itu tentu saya memaparkan pemikiran saya juga tentang jenis dan aliran seorang fotografer. Apakah para jurnalist foto yang tidak pernah sekalipun memotret di studio itu bukan fotografer? Tentu jelas dia seorang fotografer kan? Demikian juga sebaliknya, apakah seorang fotografer komersial yang sehari-harinya berada di studio dengan ruangan berAC nan dingin dapat bekerja di jalan dengan situasi dan keadaan yang ekstrim? Belum tentu juga kan?
Komentar lainnya datang dari teman kuliah saya di Jogja, dia bilang bahwa, "Semua orang mungkin bisa jadi tukang foto, tapi belum tentu bisa jadi fotografer". Menurut saya itu hanyalah persoalan bahasa. Karena pada dasarnya fotografer adalah nama keren dari tukang foto kan? Lalu dia kembali berpendapat, "Apabila seperti itu, kita lihat saja siapa yang mampu bertahan, orang baru yang gak pernah motret atau kita yang telah belajar di bangku kuliah / institusi lainnya". Apa memang emang keras kepala saya ini?, pernyataan tersebut juga sama sekali tidak memuaskan hati saya. Karena banyak fotografer handal hingga guru besar yang mengajar di pasca sarjana jurusan fotografi datang dari lingkungan "orang baru yang gak pernah motret itu". Istilah kerennya otodidak mungkin. Dengan mengandalkan ijazah SMA bahkan mungkin SMP dia mampu bertahan dan bukan sekedar bertahan, namun juga menjadi sumber inspirasi orang banyak . Bagaimana dengan hal tersebut..?
Maksud saya menulis hal ini sama sekali tidak menghujat ataupun menjatuhkan mental siapa saja yang dan terlibat dalam fotografi. Tapi hal ini menjadi penting bagi saya ketika saya dihadapkan pada suatu pengalaman. Dimana seorang teman baik saya menawarkan saya pekerjaan sampingan untuk suatu liputan acara di Hotel Borobudur Jakarta. Saat itu dia berkata bahwa dirinya kekurangan orang untuk "mejeng" dengan kamera. Karena dia berjanji pada kliennya untuk dapat menghadirkan delapan orang fotografer dalam event tersebut. Kenyataannya dia hanya memilki dua orang fotografer dan tiga kamera (huhuhu, dasar otak-otakan e.o). Akhirnya berjanjilah saya untuk ikut "mejeng" dengan kamera saya. Disana ternyata ia telah menyewa 5 orang lainnya, dan mereka sama sekali, saya ulangi SAMA SEKALI tidak memiliki latar belakang fotografi maupun kesenian. Karena repotnya teman saya mengurusi jalannya acara yang akan berlangsung kurang lebih setengah jam lagi, dia meminta saya untuk mengajarkan sebentar kepada 5 orang ini tentang fotografi khususnya teknis kamera yang mereka pegang. Yaaah, apa yang harus saya perbuat? Terpaksa saya mengajarkan kepada mereka dengan sangat singkat prihal mainan baru mereka.
"Ini kamera, didepannya ada lensa dan diatas nya adalah flash atau lampu blitz. Settingannya diatur pada huruf M, kecepatan 1/60 dan diagfragma 8 dengan asa 400. Settingannya ada disini,," ajar saya sambil menunjukkan posisi cara merubah settingan kamera digital yang mereka pegang satu persatu. Secepat kilat akhirnya mereka pun siap dan telah lulus menjadi seorang fotografer. Hasil karya mereka? Cukup baik, bahkan beberapa diantaranya ada yang terpilih oleh kliennya untuk keperluan pembesaran cetak.
Tentu saja banyak orang marah dan tidak suka akan hal-hal seperti ini terutama fotografer-fotografer yang telah malang melintang di dunia jeprat-jepret ini, entah kenapa ketidak sukaan itu datang. Apakah karena keirian, merasa tersaingi, merasa dirugikan atau merasa telah dijatuhkan? Untuk mereka yang tidak masalah akan hal ini, tentu karena mereka / fotografer profesional itu merasa akan dapat banyak lagi teman, persaingan semakin ketat sehingga memicu mereka untuk berkarya lebih baik lagi, atau juga karena mereka merasa ada yang lebih bodoh dari mereka? Dari semua tanggapan tersebut, bagaimana dengan tanggapan mu?
Pasti semua berharap yang terbaik akan datang dari teknologi ini. Karena memang benar, tugas dari sosok teknologi adalah untuk mempermudah hidup manusia. Akan tetapi kita berharap juga bahwa yang terbaik tidak didapat dari unsur kemudahannya belaka, namun dari unsur proses, hasil dan interpretasinya. Karena dari proses seorang bekerja dan berkarya akan tercerminkan kejujuran hati dalam hasil karyanya dan kemudian setiap orang yang melihat hasil karya itupun dapat mengerti dan menerima wujud karya tersebut.
wish for the best of photographic people
daus adrian
Jaman digital, inilah yang terjadi saat ini bukan?. Segala sesuatunya berbasis pada data-data digital, mulai dari kalkulator, jam tangan, mesin kasir yang sudah tidak berisik lagi, speedometer kendaraan bermotor, alat pengukur angin, timbangan, telefon, tv, musik, video, peta dan navigasi, hingga kepada dat pemerintahan yang menyangkut kepentingan sebuah negara. Tentu hal tersebut tidak buruk, kemudahan-kemudahan memungkinkan setiap individu untuk mengeklporasi dunia lebih dalam lagi. Namun hal ini banyak sekali mempengaruhi nilai estetika didalamnya.
Dunia fotografi juga banyak mengalami perubahan signifikan. Bukan hanya pada alat, namun pada mental pelaku foto atau fotografernya. Bayangkan saja apabila dahulu ketika saya belajar foto segalanya harus saya perhitungkan dengan akurat, baik pencahayaan, komposisi, warna hingga cetak. Jadi ketika saya berkarya melalui media fotografi tersebut saya pun dapat merasakan kesulitannya, sehingga hasil yang didapat merupakan hasil dari penciptaan yang dipikirkan dengan matang. Namun perbincangan kali ini bukan mengenai itu yah? (hehehe sorry kalo ngelantur), perbincangan ini adalah masa kini, sekarang dan masa depan.
Seperti yang kalian, saya, kamu sudah tahu fotografi sekarang bisa diakses dengan sangat mudah. Media nya pun beraneka ragam dari telfon seluler yang kecil hingga kamera berformat medium yang besar. Fitur-fitur kemudahannya pun sangat fleksibel, pengaturan automatisnya juga sangat akurat untuk menerima gambar secara normal menjadikan sang pemakai tidak banyak berpikir dalam eksekusi pemotretan, benarkah begitu..? Benar atau tidaknya memang tidak ada yang salah ataupun benar dalam hal ini..
Saya pernah memaparkan pemikiran saya ini pada status facebook saya akhir bulan lalu, "Jaman digital, semua orang dapat menjadi fotografer", alhasil antara setuju dan tidak setuju ternyata sama. Seseorang teman saya merupakan fotografer profesional yang telah lama menggeluti bidang fotografi komersial (mungkin tak perlu saya sebutkan namanya kali ya, gak enak) sangat amat tidak setuju. Dia berbicara masalah teknis, alat, kemampuan dan pengalaman seseorang dalam memotret. Katanya kurang lebih, "kalau begitu untuk apa kita belajar dan bekerja bertahun-tahun, kalo dengan sekejap semua orang bisa menjelma jadi fotografer. Coba aja suruh orang yang gak pernah motret, motret di studio, ya pasti gak bisa.." Dengan keadaan itu tentu saya memaparkan pemikiran saya juga tentang jenis dan aliran seorang fotografer. Apakah para jurnalist foto yang tidak pernah sekalipun memotret di studio itu bukan fotografer? Tentu jelas dia seorang fotografer kan? Demikian juga sebaliknya, apakah seorang fotografer komersial yang sehari-harinya berada di studio dengan ruangan berAC nan dingin dapat bekerja di jalan dengan situasi dan keadaan yang ekstrim? Belum tentu juga kan?
Komentar lainnya datang dari teman kuliah saya di Jogja, dia bilang bahwa, "Semua orang mungkin bisa jadi tukang foto, tapi belum tentu bisa jadi fotografer". Menurut saya itu hanyalah persoalan bahasa. Karena pada dasarnya fotografer adalah nama keren dari tukang foto kan? Lalu dia kembali berpendapat, "Apabila seperti itu, kita lihat saja siapa yang mampu bertahan, orang baru yang gak pernah motret atau kita yang telah belajar di bangku kuliah / institusi lainnya". Apa memang emang keras kepala saya ini?, pernyataan tersebut juga sama sekali tidak memuaskan hati saya. Karena banyak fotografer handal hingga guru besar yang mengajar di pasca sarjana jurusan fotografi datang dari lingkungan "orang baru yang gak pernah motret itu". Istilah kerennya otodidak mungkin. Dengan mengandalkan ijazah SMA bahkan mungkin SMP dia mampu bertahan dan bukan sekedar bertahan, namun juga menjadi sumber inspirasi orang banyak . Bagaimana dengan hal tersebut..?
Maksud saya menulis hal ini sama sekali tidak menghujat ataupun menjatuhkan mental siapa saja yang dan terlibat dalam fotografi. Tapi hal ini menjadi penting bagi saya ketika saya dihadapkan pada suatu pengalaman. Dimana seorang teman baik saya menawarkan saya pekerjaan sampingan untuk suatu liputan acara di Hotel Borobudur Jakarta. Saat itu dia berkata bahwa dirinya kekurangan orang untuk "mejeng" dengan kamera. Karena dia berjanji pada kliennya untuk dapat menghadirkan delapan orang fotografer dalam event tersebut. Kenyataannya dia hanya memilki dua orang fotografer dan tiga kamera (huhuhu, dasar otak-otakan e.o). Akhirnya berjanjilah saya untuk ikut "mejeng" dengan kamera saya. Disana ternyata ia telah menyewa 5 orang lainnya, dan mereka sama sekali, saya ulangi SAMA SEKALI tidak memiliki latar belakang fotografi maupun kesenian. Karena repotnya teman saya mengurusi jalannya acara yang akan berlangsung kurang lebih setengah jam lagi, dia meminta saya untuk mengajarkan sebentar kepada 5 orang ini tentang fotografi khususnya teknis kamera yang mereka pegang. Yaaah, apa yang harus saya perbuat? Terpaksa saya mengajarkan kepada mereka dengan sangat singkat prihal mainan baru mereka.
"Ini kamera, didepannya ada lensa dan diatas nya adalah flash atau lampu blitz. Settingannya diatur pada huruf M, kecepatan 1/60 dan diagfragma 8 dengan asa 400. Settingannya ada disini,," ajar saya sambil menunjukkan posisi cara merubah settingan kamera digital yang mereka pegang satu persatu. Secepat kilat akhirnya mereka pun siap dan telah lulus menjadi seorang fotografer. Hasil karya mereka? Cukup baik, bahkan beberapa diantaranya ada yang terpilih oleh kliennya untuk keperluan pembesaran cetak.
Tentu saja banyak orang marah dan tidak suka akan hal-hal seperti ini terutama fotografer-fotografer yang telah malang melintang di dunia jeprat-jepret ini, entah kenapa ketidak sukaan itu datang. Apakah karena keirian, merasa tersaingi, merasa dirugikan atau merasa telah dijatuhkan? Untuk mereka yang tidak masalah akan hal ini, tentu karena mereka / fotografer profesional itu merasa akan dapat banyak lagi teman, persaingan semakin ketat sehingga memicu mereka untuk berkarya lebih baik lagi, atau juga karena mereka merasa ada yang lebih bodoh dari mereka? Dari semua tanggapan tersebut, bagaimana dengan tanggapan mu?
Pasti semua berharap yang terbaik akan datang dari teknologi ini. Karena memang benar, tugas dari sosok teknologi adalah untuk mempermudah hidup manusia. Akan tetapi kita berharap juga bahwa yang terbaik tidak didapat dari unsur kemudahannya belaka, namun dari unsur proses, hasil dan interpretasinya. Karena dari proses seorang bekerja dan berkarya akan tercerminkan kejujuran hati dalam hasil karyanya dan kemudian setiap orang yang melihat hasil karya itupun dapat mengerti dan menerima wujud karya tersebut.
wish for the best of photographic people
daus adrian
Tuesday, October 13, 2009
Friday, March 13, 2009
the Crystal Ship
Before you slip into,
unconsciousness,
I’d like to have another kiss
Another flashing chance at blissAnother kiss, another kiss
Itu merupakan kata-kata jim morrison yang dilagukannya dengan sangat melankoli, mistis, romantis dan keras.. hehe, bagaimana menggabungkannya..? yah, dengar saja sendiri..
Sebenernya saya gak mau bawa-bawa puisi/lirik jim morrison dalam tulisan ini, tapi memang kayaknya tetap harus.. karena puisi itu kami ada, dan ber-ada.
Empat orang anak kecil yang sok dewasa yang mencoba untuk menggambar hingga mewarnai dunia kecil kami sendiri..
banyak yang udah terlewati, musik pun banyak yang hilang dari sebagian kami, setidaknya untuk saya pribadi musik-musik itu masih tetap ada dalam konsep kepala saya yang mulai membusuk ini..
tidak apa, karena musik-musik itu hanya untuk disorakkan pada saatnya, dan waktu itu pun segera akan datang, kemudian kita pasti akan bermain lagi dengan nada kami masing-masing..
the crystal ship is a memory of the unmemorized..
and in the end, whyYou’d rather cry, because I’d rather fly
unconsciousness,
I’d like to have another kiss
Another flashing chance at blissAnother kiss, another kiss
Itu merupakan kata-kata jim morrison yang dilagukannya dengan sangat melankoli, mistis, romantis dan keras.. hehe, bagaimana menggabungkannya..? yah, dengar saja sendiri..
Sebenernya saya gak mau bawa-bawa puisi/lirik jim morrison dalam tulisan ini, tapi memang kayaknya tetap harus.. karena puisi itu kami ada, dan ber-ada.
Empat orang anak kecil yang sok dewasa yang mencoba untuk menggambar hingga mewarnai dunia kecil kami sendiri..
banyak yang udah terlewati, musik pun banyak yang hilang dari sebagian kami, setidaknya untuk saya pribadi musik-musik itu masih tetap ada dalam konsep kepala saya yang mulai membusuk ini..
tidak apa, karena musik-musik itu hanya untuk disorakkan pada saatnya, dan waktu itu pun segera akan datang, kemudian kita pasti akan bermain lagi dengan nada kami masing-masing..
the crystal ship is a memory of the unmemorized..
and in the end, whyYou’d rather cry, because I’d rather fly
Thursday, March 05, 2009
Thursday, October 09, 2008
Matahari lahir
Anak gw Matahari Dimatha Surga, lahir tanggal 07 Oktober 2008 di Jogja. Waktu lahir dia bersin duluan baru nangis.. Gw sempet motret dia, padahal tangan gw juga gemteran pas itu, tapi lumayanlah.
hari ini saya dan istri tercinta bangun dari tempat tidur di rumah kontrakan kecil kami. seperti hari2 sebelumnya, saya dan dia masih menunggu kelahiran ini. ya karena sudah terlambat 10hari dari yang telah dijadwalkan dokter dan bidan kami, maka kami sangat berhati2. rencana hari itu adalah hari terakhir kami dirumah, mau tidak mau bayi kami harus lahir, 'bisa berbahaya bila tidak segera dilahirkan' kata dokter spesialis berkacamata tebal dan berambut tipis itu 2 hari yang lalu.
kota jogja pun masih sepi, diselimuti hangatnya suasana lebaran. banyak teman yang pulang kampung, tetangga2 sekitar kontrakan kami sibuk dengan keluarga mereka masing2. yah, kami hanya berdua, sangat damai. 'love u my girl', hanya itu saja ucapan selamat lebaran saya kepada istri tercinta.
pagi itu dengan rencana akan pergi kerumah sakit di siang hari, saya mengambil kamera dan kemudian kami pun berfoto2 sebentar di dalam rumah. saya pun lalu mandi untuk bersiap2. tiba2 suara merdu istri saya memanggil dari luar pintu kamar mandi. dia berkata bahwa ketuban telah pecah, namun tanpa ekspresi suara kepanikan atau kaget sedikit pun. saya keluar dan langsung mencari taksi di jalanan jogja yang sepi tersebut. sedapatnya kami bergegas ke rumah sakit.
dalam 2 setengah jam lahirlah dia, kecil, bersih, gak berdaya. ya laki2. matahari dimatha surga, anak pintar yang selalu mengerti keadaan papa mama nya sejak ia masih berupa embrio dalam perut. mudah2an hal tersebut berlangsung hingga ia dewasa.
atta gw sayang lo ya.. always
Thursday, June 05, 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)