Thursday, October 15, 2009

Dalam 15 menit semua orang dapat menjadi Fotografer..

Judul yang saya angkat disini mungkin tidak asing lagi ya, terutama untuk para penggemar seni pop. Memang benar Andy Warhol pernah mengutip kata-kata yang mirip dengan judul tersebut tepatnya dimasa depan semua orang akan terkenal selama 15 menit, namun ketika tahun 60-an berakhir beliau merubah kutipannya menjadi "dalam 15 menit setiap orang akan menjadi terkenal..". Keterkenalan seseorang disini adalah suatu penggambaran pada perkembangan arus dan kemajuan budaya di Amerika saat itu. Lalu bagaimana dengan sekarang?, sudah hampir setengah abad ketika kutipan itu terucap oleh mulut seorang Warhol. Ya, setengah abad.. Dan bisa kita bayangkan perubahan yang terjadi pada jaman dan manusia selama itu.
Jaman digital, inilah yang terjadi saat ini bukan?. Segala sesuatunya berbasis pada data-data digital, mulai dari kalkulator, jam tangan, mesin kasir yang sudah tidak berisik lagi, speedometer kendaraan bermotor, alat pengukur angin, timbangan, telefon, tv, musik, video, peta dan navigasi, hingga kepada dat pemerintahan yang menyangkut kepentingan sebuah negara. Tentu hal tersebut tidak buruk, kemudahan-kemudahan memungkinkan setiap individu untuk mengeklporasi dunia lebih dalam lagi. Namun hal ini banyak sekali mempengaruhi nilai estetika didalamnya.
Dunia fotografi juga banyak mengalami perubahan signifikan. Bukan hanya pada alat, namun pada mental pelaku foto atau fotografernya. Bayangkan saja apabila dahulu ketika saya belajar foto segalanya harus saya perhitungkan dengan akurat, baik pencahayaan, komposisi, warna hingga cetak. Jadi ketika saya berkarya melalui media fotografi tersebut saya pun dapat merasakan kesulitannya, sehingga hasil yang didapat merupakan hasil dari penciptaan yang dipikirkan dengan matang. Namun perbincangan kali ini bukan mengenai itu yah? (hehehe sorry kalo ngelantur), perbincangan ini adalah masa kini, sekarang dan masa depan.
Seperti yang kalian, saya, kamu sudah tahu fotografi sekarang bisa diakses dengan sangat mudah. Media nya pun beraneka ragam dari telfon seluler yang kecil hingga kamera berformat medium yang besar. Fitur-fitur kemudahannya pun sangat fleksibel, pengaturan automatisnya juga sangat akurat untuk menerima gambar secara normal menjadikan sang pemakai tidak banyak berpikir dalam eksekusi pemotretan, benarkah begitu..? Benar atau tidaknya memang tidak ada yang salah ataupun benar dalam hal ini..
Saya pernah memaparkan pemikiran saya ini pada status facebook saya akhir bulan lalu, "Jaman digital, semua orang dapat menjadi fotografer", alhasil antara setuju dan tidak setuju ternyata sama. Seseorang teman saya merupakan fotografer profesional yang telah lama menggeluti bidang fotografi komersial (mungkin tak perlu saya sebutkan namanya kali ya, gak enak) sangat amat tidak setuju. Dia berbicara masalah teknis, alat, kemampuan dan pengalaman seseorang dalam memotret. Katanya kurang lebih, "kalau begitu untuk apa kita belajar dan bekerja bertahun-tahun, kalo dengan sekejap semua orang bisa menjelma jadi fotografer. Coba aja suruh orang yang gak pernah motret, motret di studio, ya pasti gak bisa.." Dengan keadaan itu tentu saya memaparkan pemikiran saya juga tentang jenis dan aliran seorang fotografer. Apakah para jurnalist foto yang tidak pernah sekalipun memotret di studio itu bukan fotografer? Tentu jelas dia seorang fotografer kan? Demikian juga sebaliknya, apakah seorang fotografer komersial yang sehari-harinya berada di studio dengan ruangan berAC nan dingin dapat bekerja di jalan dengan situasi dan keadaan yang ekstrim? Belum tentu juga kan?
Komentar lainnya datang dari teman kuliah saya di Jogja, dia bilang bahwa, "Semua orang mungkin bisa jadi tukang foto, tapi belum tentu bisa jadi fotografer". Menurut saya itu hanyalah persoalan bahasa. Karena pada dasarnya fotografer adalah nama keren dari tukang foto kan? Lalu dia kembali berpendapat, "Apabila seperti itu, kita lihat saja siapa yang mampu bertahan, orang baru yang gak pernah motret atau kita yang telah belajar di bangku kuliah / institusi lainnya". Apa memang emang keras kepala saya ini?, pernyataan tersebut juga sama sekali tidak memuaskan hati saya. Karena banyak fotografer handal hingga guru besar yang mengajar di pasca sarjana jurusan fotografi datang dari lingkungan "orang baru yang gak pernah motret itu". Istilah kerennya otodidak mungkin. Dengan mengandalkan ijazah SMA bahkan mungkin SMP dia mampu bertahan dan bukan sekedar bertahan, namun juga menjadi sumber inspirasi orang banyak . Bagaimana dengan hal tersebut..?
Maksud saya menulis hal ini sama sekali tidak menghujat ataupun menjatuhkan mental siapa saja yang dan terlibat dalam fotografi. Tapi hal ini menjadi penting bagi saya ketika saya dihadapkan pada suatu pengalaman. Dimana seorang teman baik saya menawarkan saya pekerjaan sampingan untuk suatu liputan acara di Hotel Borobudur Jakarta. Saat itu dia berkata bahwa dirinya kekurangan orang untuk "mejeng" dengan kamera. Karena dia berjanji pada kliennya untuk dapat menghadirkan delapan orang fotografer dalam event tersebut. Kenyataannya dia hanya memilki dua orang fotografer dan tiga kamera (huhuhu, dasar otak-otakan e.o). Akhirnya berjanjilah saya untuk ikut "mejeng" dengan kamera saya. Disana ternyata ia telah menyewa 5 orang lainnya, dan mereka sama sekali, saya ulangi SAMA SEKALI tidak memiliki latar belakang fotografi maupun kesenian. Karena repotnya teman saya mengurusi jalannya acara yang akan berlangsung kurang lebih setengah jam lagi, dia meminta saya untuk mengajarkan sebentar kepada 5 orang ini tentang fotografi khususnya teknis kamera yang mereka pegang. Yaaah, apa yang harus saya perbuat? Terpaksa saya mengajarkan kepada mereka dengan sangat singkat prihal mainan baru mereka.
"Ini kamera, didepannya ada lensa dan diatas nya adalah flash atau lampu blitz. Settingannya diatur pada huruf M, kecepatan 1/60 dan diagfragma 8 dengan asa 400. Settingannya ada disini,," ajar saya sambil menunjukkan posisi cara merubah settingan kamera digital yang mereka pegang satu persatu. Secepat kilat akhirnya mereka pun siap dan telah lulus menjadi seorang fotografer. Hasil karya mereka? Cukup baik, bahkan beberapa diantaranya ada yang terpilih oleh kliennya untuk keperluan pembesaran cetak.
Tentu saja banyak orang marah dan tidak suka akan hal-hal seperti ini terutama fotografer-fotografer yang telah malang melintang di dunia jeprat-jepret ini, entah kenapa ketidak sukaan itu datang. Apakah karena keirian, merasa tersaingi, merasa dirugikan atau merasa telah dijatuhkan? Untuk mereka yang tidak masalah akan hal ini, tentu karena mereka / fotografer profesional itu merasa akan dapat banyak lagi teman, persaingan semakin ketat sehingga memicu mereka untuk berkarya lebih baik lagi, atau juga karena mereka merasa ada yang lebih bodoh dari mereka? Dari semua tanggapan tersebut, bagaimana dengan tanggapan mu?
Pasti semua berharap yang terbaik akan datang dari teknologi ini. Karena memang benar, tugas dari sosok teknologi adalah untuk mempermudah hidup manusia. Akan tetapi kita berharap juga bahwa yang terbaik tidak didapat dari unsur kemudahannya belaka, namun dari unsur proses, hasil dan interpretasinya. Karena dari proses seorang bekerja dan berkarya akan tercerminkan kejujuran hati dalam hasil karyanya dan kemudian setiap orang yang melihat hasil karya itupun dapat mengerti dan menerima wujud karya tersebut.


wish for the best of photographic people
daus adrian