Friday, July 14, 2023

Bingkai Kurasi oleh Akiq A.W

Kata pengantar oleh Akiq AW

Casual Cascade adalah tegangan atas yang tak tampak dari yang tampak. Yang tampak adalah karya-karya yang nantinya dilihat/dinilai dari capaian artistik seniman; namun sejatinya yang perlu dibicarakan adalah apa yang tidak muncul di galeri; Apa yang menjadi latar dan proses yang menjadikan karya-karya seni itu meng ada dan menghibur khalayak. Menjadi seniman adalah sebuah previlege bagi sebagian orang, namun bagi sebagian yang lain adalah persoalan [baca: beban]. Seni tidak lebih besar dari hidup itu sendiri; wajar sekali kemudian banyak seniman yang harus berjibaku dengan prioritas atas seni dan rutin keseharian. 
Ketiga seniman dalam presentasi kali ini membuktikan bahwa pengelolaan atas priortas ini bisa dilakukan. Bahwa seni masih bisa dilakukan dengan cara dan sumber daya yang diperjuangkan; dan tanpa juga mengorbankan proses latihan dan penguasaan teknis dan artistik yang ditekuni. Dan salah satu yang bisa digaris bawahi, kemerdekaan ketiga seniman ini dalam mengartikulasikan ide dan persoalannya, tanpa keharusan untuk menjadi 'berwacana' ilmu sosial yang saat ini menjadikan seni gagu dan tak punya imajinasi. 

Cosi, Daus dan Doli kebetulan adalah teman seangkatan di kampus pendidikan fotografi. Seniman yang bekerja dengan medium ini menghadapi tantangan eksistensial dimana sekarang setiap orang adalah fotografer yang secara rutin bisa berpameran di galeri maya sosial media. Mereka kemudian menggunakan teknik dan material lain untuk menjadikan karya fotografinya lebih unggul. Jika anda fotografer, maka anda akan paham betapa pilihan ini cukup berani, karena biasanya gambar dalam sebuah foto adalah sakral sejak direkam. Atau kemudian, tindakan ini yang harus diambil untuk merobohkan tembok konservatif yang biasa menghambat seniman berbasis medium.

Soal metode pengkaryaan, ketiga seniman ini bisa memiliki pendekatan yang agak berbeda; Cosi cenderung lebih reflektif dalam melihat proses kekaryaannya. Seni dan produksi karya seni dilihatnya sebagai sebuah proses untuk mengerti diri dan mengontrol emosi. Kita bisa melihat bahwa benang-benang yang dirajut itu adalah tali kekang-kendali, yang mengontrol dan mengarahkan gambar-gambar yang tercetak; layaknya dia sedang mengendalikan kenyataan hidupnya sendiri. Benang-benang itu seperti ampelas yang menghaluskan sudut-sudut tajam dan permukaan-permukaan yang kasar; memberi volume dan teksture atas kenyataan tercetak yang datar dan kontras.
Daus, yang bekerja di industri hardware and printing supplies, melihat limpahan cetakan-cetakan tak terpakai sebagai sumber kekaryaannya. Gambar-gambar temuan dia olah dengan cut and paste, menjadi kolase yang menarik. Kolase yang dia buat adalah ilustrasinya atas ingatan tentang musik dan literatur dunia yang pernah ia konsumsi. Ilustrasi tentu sangat sulit, dimana kesetiaan pada 'yg diilustrasikan' harus tetap dipertahankan sembari menjelajahi kemungkinan-kemungkina bentuk dari imajinasi senimannya sendiri, apalagi jika kemudian bermodalkan obyek temuan seperti yang dilakukan Daus kali ini.
Sementara Doli, yang konsisten berkarya dengan berbagai ragam teknik dan metode produksi fotografi, dalam beberapa tahun ini mengekplorasi teknik cetak lama [old print], kali ini menghadirkan salah dua ragam teknik cetak tua fotogram dan lumen print. Teknik tradisional fotografi ini sekarang menjadi salah satu obat rindu atas hilangnya aura fotografi analog, dan Doli memanfaatkannya dengan cara menarik. Dia menggunakan perkakas keseharian sebagai obyek dasar yang diduplikat bentuknya di atas kertas. Gravitasi dan kontras dari apa yang sepertinya kita kenal akrab dan apa yang kemudian seolah misteri dalam karya-karya Doli, menjadi kekuatan seri ini. Perkakas-perkakas itu dibentuk menjadi semacam potret yang 'kotor' tak sempurna menjadi seolah potret dari dunia paska kiamat, yang pun ternyata adalah refleksi Doli atas kehidupan sekarang ini. Sungguh sakit orang ini.
Presentasi kali ini semakin memantapkan kepercayaan saya atas kerja-kerja yang sepertinya sepele namun membuat roda kenyataan hidup kita [minimal dilingkar skena kesenian] tetap masuk di akal. Setiap hari kita membuat-mengelola, menyoal niat dan kerja, mempertaruhkan keluarga dan nafas yang sekejap ini dan sebagain besarnya tanpa imbalan yang fana. Untuk apa? Jawabnya akan sangat beragam, untuk saya: agar saya tidak dipenjara karena membunuh orang atau merampok bank.

Monday, July 03, 2023

SEARCHING FOR AESTHETIC IN VANDALISM

AESTHETICS VANDALISM WITH PHOTOGRAPHY COLLAGE ARTS
Oleh : Daus Adrian

Kolase- Foto dan Vandalisme yang dibuat dengan tangan sendiri secara analog ini, adalah bentuk Idealisme estetis pribadi dalam penyampaian cerita kedalam frame tersebut. Dengan tujuan para penikmat dapat merasakan yang walau dalam sempitnya sebuah frame apakah karakter-karakter yang dihadapkan dengan konfliknya, mampu berdiri, menghadapinya, menggunakan pemikiran-pemikiran diluar nalar dengan kecerdasannya? Atau mereka hanya pergi, melarikan diri, meninggalkannya, baik dengan anggun, bodoh ataupun dalam kepengecutannya (baik dalam sastra, musik, lagu, maupun film) masing-masing?

Hal yang semestinya harus dimengerti secara luas dengan beratus-ratus halaman, lantunan-lantunan musik dan melodi ataupun dengan puisi/pantun.

Dan saya peringatkan bahwa karya-karya Kolase Foto ini adalah suatu penciptaan dengan nilai penyimpangan yang cukup berat dan kotor terhadap karya-karya seni yang terilbat, (terutama fotografi), maka bisa juga kalian bilang saya penjahat. Karena dalam proses mencipta saya selalu mencuri, memotong, menggunting, membakar, berantakin habis-habisan foto-foto indah yang indah milik orang lain. 




Harus lebih dahulu mengacaukan dan membuat ketidakaturan, dengan begitu pula saya bisa menyadari dan menghargai keindahan tersebut.
Yah maaf dengan sangat, saya tau pasti perasaan, kemarahan anda bila kedapat beberapa karya anda telah saya gunakan. Tapi saya sama sekali tidak merendahkan, justru jauh sebaliknya, penghargaan yang tertinggi dalam hati saya untuk mengembangkannya.

Saya bukan manusia yang baik dari dulu. Jadi selalu ada suatu rasa/hasrat bipolar, katarsis untuk menghancurkan, merusak dsb. Saya akui itu, karena emosi yang tiba-tiba datang meledak itu sudah menghancurkanku selama ini. Jadi saya minta tolong pengertianya sebentar saja. 

Pengaruh-pengaruh / inspirasi datang dari semua tempat memang. Tapi kali ini, karena saya telah mengambil-curi hasil karya orang lain, sekalian saja saya pikir bila saya juga mengambil tema konten dari karya-karya orang lain yang melibatkan bukan hanya indera visual kita, tapi dari berbagai indera perasa dan insting manusia lainnya seperti karya-karya musik, sastra, buku, cerita, artikel, puisi, temperatur, warna hingga film (walaupun dalam film modern sudah terdapat rasa-rasa tadi).


Biasanya yang terangkat adalah hal2 yang terngiang terus diotak setelah saya membaca atau mendengar. Misalnya dalam “Moby Dick”, saya selalu teringat saat2 kematian kapten Ahab ditubuh paus putih itu, atau di lagu “Hapiness is a Warm Gun”, yang ada dipikran saya adalah todongan pistol dikepala mungkin adalah kebahagiaan sejati. Dalam "Come as You Are", seakan Cobain sendiri mengajak saya tanpa paksaan hanya dengan melodi alternatif nya, untuk melihat alam nyata yang ada hanya dalam pikirannya. Yang jelas pada "1984"nya George Orwell, kota lingkup Dystopian seperti itu masih sangat mungkin terjadi, sudah terlihat bukan..? CCTV yang dapat beralih fungsi menjadi telescreening, mampu mengawasi detail rahasia dan privasi orang. Dan akhirnya yang paling penting adalah negara atau partai, mungkinkah? 

Karenanya saya berusaha untuk membuat pameran berdasarkan seniman-seniman yang saya hormati dan kenali beberapa karyanya. Karena begitulah sebenarnya seluruh isi karya saya adalah dedikasi untuk para pencipta ruang dan waktu tersebut



Tp didalam ruangan proses itu semua, seperti ada kekuatan Agung yang lebih besar dari emosi, yang menyemangati saya menyalurkannya ke dalam sebuah bentuk karya visual, apalagi kl ada 6 kaleng bir yg dingiiiin sekali.

Itu yang benar-benar saya rasakan, saat saya merusak. Dorongan diluar nalar bagaikan perintah tuhan, bahkan saya sama sekali tidak pernah percaya dengan tuhan. Tapi dorongan untuk berjalan itu selalu ada, walau saya juga tidak pernah begitu teelalu peduli dengan hasil akhir karya-karya saya sendiri. 

Karena tujuan itu bukanlah suatu jawaban untuk saya, tapi perjalanan atau prosesnyalah yang membuat saya hidup, terlebih serasa menjadi bagian dari kemanusiaan. 


Karena saya sangat percaya bahwasanya karya-karya Seni dan Budaya manusia merupakan suatu Pencapaian Tertinggi dan Terbesar dari Umat Manusia. Bukan roket, mobil, televiai, komputer, mini chip, atom, relativitas, perjalanan ke bulan atau mars sekalipun. Jika ingin menghancurkan suatu bangsa, hilangkan, hancurkan atau bengkokkan nilai-nilai Seni dan Budayanya, maka keber"Ada"an bangsa tersebut pasti musnah. 

Karena Seni dan Budayalah yang membedakan kita dengan makhluk-makhluk lain. Tanpa "Rasa" tersebut apalah kita menjadi?. Ya, binatang bila tak berkembang secara akal dan robot tak berperasaan bila mampu maju berkembang secara teknologi atau sains.

Itulah kira-kira kurator yang saya sangat hormat dan saluti, kenapa saya ingin membuat pameran dengan tema dan teknis secara spesifik tadi. Tentu pendapat anda mungkin berbeda, tapi bukankah itu indahnya.

 







Sunday, July 02, 2023

Aesthetic Vandalism - Concept for the Casual Cascade at Krack Gallery Exibit

Harus berantakan dan harus ada ketidak aturan. Dengan begitu kita bisa menghargai keindahan. 
Semua karya gw handmade. Dan penerjemahan visual dari tulisan, buku, artikel, puisi, musik, melodi atau lagu. Karena itu semua adalah sumber imajinasi yang mentah secara visual. 
Tapi buat pencapaian citra dr karya2 seni ajaib dengan jenis indra yang berbeda, ya harus gw hancurin, sobek, bakar, potong, gunting, untel-untel, cutter dan akhirnya tempel lagi. Kadang penempelan pake konsep yang sangat matang, tapi seringnya juga hanya dengan insting sederhana.
Begitulah cerita gw yang jatuh ke dalam sumur cinta dan tergila-gila sama yg namanya kolase, karena gw bs ngerasa bebas ngerusak karya2 orang lain (walo mungkin yg bersangkutan marah). Mungkin juga gw lakukan hampir tiap hari, percaya ato nggak. 
Tp didalam ruangan proses itu semua, seperti ada kekuatan agung yang lebih besar dari emosi, yang menyemangati gw buat menyalurkannya ke dalam sebuah bentuk visual, apalagi kl ada 6 kaleng bir yg dingiiiin sekali.
Itu yang benar-benar gw rasakan, saat gw merusak. Dorongan diluar nalar bagaikan perintah tuhan, bahkan gw sama sekali gak pernah percaya dengan tuhan, sedikitpun tidak. Tapi dorongan untuk berjalan itu selalu ada, walau gw juga gak pernah peduli sama hasil akhir karya-karya gw sendiri. 
Karena buat gw tujuan itu bukanlah suatu jawaban, tapi perjalanan atau prosesnyalah yang membuat karya2 gw berarti. 
Ya, karena itu gw bercerita tentang tingginya nilai Estetis dalam Vandalisme Fotografi ini.
Sekian and thank u.. 

DA - XXIII