Hari ini 2 tahun yang lalu, mungkin saya dan istri saya masih gelisah menunggu. Ruang dan waktu saat itu memang hanya kami yang miliki berdua, dan tuhan pasti ingat itu..
Nuansa rumah mungil nan kusam yang dipenuhi 3 kamar kosong dan belasan mungkin puluhan sarang laba-laba tersebut masih selalu ada disini. Kami hanya berdua, karena hari raya lebaran tahun itu datang bersamaan dengan masa-masa penantian surga kecil kami datang ke dunia. Seluruh teman yang bersama kami sehari-hari banyak yang telah meninggalkan jogja menuju tempat mereka masing-masing. Rental DVD pun kami untungkan banyak, dengan jumlah penyewaan kami yang sudah melebihi batas kemampuan manusia untuk menonton..
Sarung kain, televisi, DVD player, berpak-pak gudang garam, kompor dengan persediaan 1 dirijen 5 liter minyak tanah, tiga buah bak tumpukan baju kotor, gitar dan beberapa alat perekam digital, kamera canon eos 350D yang kami pinjam paksa terhadap teman kami bernama ‘gigi’ karena kamera saya pun telah masuk sekolah yang katanya mampu “menyelesaikan masalah tanpa masalah”, hasil lab rumah sakit yang hanya membuang-buang uang kami, makanan ringan, meja sablon dan kasur yang kami pindahkan ke ruang tengah agar dapat merasakan lebih luasnya ruangan di rumah bertembok biru itu. Dan tentunya perut besar berisi kebahagiaan yang menanti sambutan hangat dari kami.
Jogja, Oktober 2008
Yaah, setidaknya itulah gambaran keseharian kami berdua saat menunggu matahari lahir.
Telah lebih dari 10 hari ketika dokter bertitle S.PG itu menaklukan takdir akan kelahiran anak kami, akhirnya istri saya pun berkata, “Yank, air.. ketubannya..??”, tanpa ekspresi kepanikan sama sekali. Dan lagi-lagi sang vespa super biru bar molor saya menobatkan dirinya sebagai pahlawan dengan mengantarkan saya mencari taksi. Tidak mudah untuk mencari taksi, karena lokasi rumah kami yang tepat berada disisi jalan lingkar selatan jogja yang banyak dilalui oleh kendaraan-kendaraan lintas kota. Saya pun harus berputar dua kali, dan dapat..!! Taksi yang tak berwarna (karena saya tidak ingat apa warnanya :p) tersebut meluncur cepat ke rumah sakit yang berada di tengah kota hijau itu.
Jam dua siang kami sampai dengan membawa beberapa hasil lab yang tidak terpakai tadi. Ketika kami memasuki ruang bersalin, istri saya pun langsung dibaringkan pada tempat tidur dan saya dipanggil oleh seorang suster yang berwajah matrelialistis itu. “Pak, mau dikamar apa..?”, katanya. “Kalau VIP 750rb, kelas 1 500rb, kelas 2 350rb dan bangsal 150rb semalam..”. “Kelas 2 aja dulu” saya langsung menjawabnya. “Kelas 2 penuh, saya daftarkan di kelas 1 aja ya”, katanya tanpa berpikir, ngapain ya nawarin saya kalo udah penuh.. hehe, memang Indonesia..
Satu jam lewat, istri saya minta makan.. Diberilah makan oleh suster yang menjaga. Tanpa membawa pakaian / peralatan menginap lainnya, kecuali kamera pinjaman, saya menunggu duduk disebelah ranjang dimana istri saya terbaring. Kemudian seorang dokter datang dan bertanya pada suster/bidan yang ada sembari tangannya menggerayangi istri saya. Dia berkata, “baguuus, ditunggu aja mas. Ini saya kasih pemacu, Cuma kalau dalam dua jam tidak lahir operasi ya”. Tapi kami tetap percaya bahwa surge kami pasti akan keluar dengan manusiawi hehe.. :D.
Jam setengah empat sore itu, istri saya pun mulai bertambah keluhannya. Bidan yang berjaga ditempat itu pun bersiap-siap untuk prosesnya. Lampu-lampu operasi yang bundar dipindahkan tepat diatas istri saya yang sedang mengalami masa paling menyakitkan dalam hidupnya. Sebuah baki alumunium, sarung tangan karet sekali pakai, masker dan tangan saya yang ditarik-tarik kencang oleh istri saya mulai bersinar. Ujung kepala pun mulai terlihat keluar, namun masuk kedalam lagi. Seperti malu atau mengintip sejenak pada dunia untuk kemudian mengambil amunisi lebih didalam perut agar siap menghadapinya..? Tak taulah, apa yang dipikirkan surge kecil ku itu. Tapi tak selang lama ia keluar dengan kepala tegapnya ynag kecil, menunggu pertolongan dari seorang bidan menarik lehernya dan mengeluarkan anggota tubuhnya yang lain. Sangat cepat waktu itu, hanya beberapa detik dan manusia kecil ini pun menangis, hingga dunia dan beberapa bintang harus menutup telinga mereka.
Tangan saya yang gemetar teringat instingnya untuk mengambil kamera. “Sebentar bu, saya mau foto dulu ya..”, saya bilang pada bidan yang berjasa itu. Satu, dua, tigaaaa.. Matahari pun tersenyum dan berpose cantik untuk saya.. :)
Jogja 7 Oktober 2008
Saya bukan lah pendo’a, bahkan saya mungkin tidak menyenangi adanya agama yang hanya menimbulkan perbedaan palsu pada manusia. Namun hari ini saya hanya mampu mengucapkan kepada apapun Kau diatas sana.., rasa terima kasih dan memohon untuk perlindungan akan kebaikan diri untuk anak saya dalam meninju congkaknya dunia ini.
Selamat Hari Istimewa Matahari ku..
With Love
Pa..
Kue Ulang Tahun
Bersama Dewa dan Gavan tiup lilin
Mama yang selalu ada.. :)
Hidangan kecil kami
Kenyaaaang :D
No comments:
Post a Comment